Jumat, 03 Februari 2012

Eleminasi


BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Eleminasi merupakan kebutuhan dasar manusia seperti defekasi atau Buang air besar. defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan mahkluk hidup. Buang air besar dapat terjadi secara sadar dan tak sadar. Manusia dapat melakukan buang air besar beberapa kali dalam satu hari atau satu kali dalam beberapa hari. Tetapi bahkan dapat mengalami gangguan yaitu hingga hanya beberapa kali saja dalam satu minggu atau dapat berkali-kali dalam satu hari, biasanya gangguan-gangguan tersebut diakibatkan oleh gaya hidup yang tidak benar dan jika dibiarkan dapat menjadi masalah yang lebih besar. Kehilangan kontrol dapat terjadi karena cedera fisik (seperti cedera pada otot sphinkter anus), radang, penyerapan air pada usus besar yang kurang (menyebabkan diare, kematian, dan faktor faal dan saraf).

B.     Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas defekasi mempunyai ruang lingkup yang sangat luas oleh karena itu penulis hanya membatasi bahasan pada konsep defekasi, serta mengangkat salah satu gangguan defekasi yaitu konstipasi.

C.    Tujuan Penulisan
Berdasarkan batasan masalah  maka adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1.         Agar kita dapat mengetahui fisiologi dan proses defekasi
2.         Agar dapat mengetahui apa yg disebut dengan konstipasi dan cara pengobtannya

BAB II PEMBAHASAN
A.      Defekasi
1.      Buang Air Besar
·         Buang air besar atau defekasi adalah suatu tindakan atau proses makhluk hidup untuk membuang kotoran atau tinja yang padat atau setengah-padat yang berasal dari sistem pencernaan (Dianawuri, 2009).
2.      Fisiologi Buang Air Besar
·            Rektum biasanya kosong sampai menjelang defekasi. Seorang yang mempunyai kebiasaan teratur akan merasa kebutuhan membung air besar kira-kira pada waktu yang sama setiap hari. Hal ini disebabkan oleh refleks gastro-kolika yang biasanya bekerja sesudah makan pagi. Setelah makanan ini mencapai lambung dan setelah pencernaan dimulai maka peristaltik di dalam usus terangsang, merambat ke kolon, dan sisa makanan dari hari kemarinnya, yang waktu malam mencapai sekum mulai bergerak. Isi kolon pelvis masuk ke dalam rektum, serentak peristaltik keras terjadi di dalam kolon dan terjadi perasaan di daerah perineum. Tekanan intra-abdominal bertambah dengan penutupan glottis dan kontraksi diafragma dan otot abdominal, sfinkter anus mengendor dan kerjanya berakhir (Pearce, 2002).

3.      Proses Buang Air Besar
·         Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian kolon, sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu 8 sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum, sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan setengah cair.
·         Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah cincin konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon.
·         Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik, kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari lagi atau bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum, akan timbul keinginan untuk defekasi (Guyton, 1997).
Gambar proses B A B

B.       Mekanisme Defekasi
Usus besar terdiri dari kolon, sekum, apendiks, dan rektum.  Dalam keadaan normal, setiap harinya, kolon menerima sekitar 500 mL kimus dari usus halus melalui katup ileosekal dengan waktu yang dibutuhkan 8-15 jam.  Oleh karena sebagian besar pencernaan dan penyerapan berlangsung di usus halus, maka kolon hanya menerima residu makanan yang tidak dapat dicerna seperti selulosa.  Selulosa dan bahan lain yang tak dapat dicerna akan keluar sebagai feses.
Gerakan kontraksi pada kolon disebut kontraksi haustra yang lama interval antara dua kontraksi adalah 30 menit, sedangkan usus halus berkontraksi 9-12 kali dalam semenit.  Kontraksi haustra berupa gerakan maju-mundur yang menyebabkan isi kolon terpajan ke mukosa absorptif yang melibatkan pleksus intrinsik.  Kontraksi lambat ini pula yang menyebabkan bakteri dapat tumbuh subur di usus besar.
Peningkatan nyata motilitas berupa kontraksi simultan usus besar terjadi tiga sampai empat kali sehari.  Kontraksi ini disebut gerakan massa yang mampu mendorong feses sejauh sepetiga sampai tiga perempat dari panjang kolon hingga mencapai bagian distal usus besar, tempat penyimpanan feses. Refleks gastrokolon, yang diperantarai oleh gastrin dari lambung ke kolon dan oleh saraf otonom ekstrinsik, terjadi ketika makanan masuk ke lambung dan akan memicu refleks defekasi.  Oleh karena itu, sebagian besar orang akan merasakan keinginan untuk buang air besar setelah makan pagi.  Hal ini karena refleks tersebut mendorong isi kolon untuk masuk ke rectum sehingga tersedia tempat di dalam usus untuk makanan yang baru dikonsumsi.  Selanjutnya, isi usus halus akan didorong ke usus besar melalui refleks gastroileum.
Gerakan massa mendorong isi kolon ke dalam rektum sehingga rektum meregang.  Peregangan ini menimbulkan refleks defekasi yang disebabkan oleh aktivasi refleks intrinsik.  Refleks intrinsik, lebih tepatnya pleksus mienterikus, menimbulkan gerakan peristaltik sepanjang kolon desendens, sigmoid, dan rectum yang memaksa feses memasuki anus dan membuat sfingter anus berelaksasi.  Namun, defekasi dapat dicegah jika sfingter anus eksternus yang berupa otot rangka tetap berkontraksi yang dikontrol secara sadar.  Dinding rektum yang semula meregang akan perlahan-lahan melemas dan keinginan untuk buang air besar mereda hingga akhirnya datang gerakan massa berikutnya.
Gerakan peristaltis yang dipicu oleh refleks intrinsik bersifat lemah.  Oleh karena itu, terdapat refleks parasimpatik untuk memperkuatnya.  Sinyal dari rektum dilanjutkan terlebih dahulu ke korda spinalis lalu dikirim balik ke kolon, sigmoid, dan rektum melalui nervus pelvis sehingga gerakan peristaltis bersifat lebih kuat.  Sinyal defekasi yang memasuki korda spinalis menimbulkan efek lain seperti tarikan nafas yang dalam, penutupan glotis, dan kontraksi abdomen yang mendorong feses keluar.
Pengubahan Sisa Makanan Menjadi Feses(1),(2)
Di dalam usus besar, tidak terjadi proses pencernaan karena ketiadaan enzim pencernaan dan penyerapan yang terjadi lebih rendah daripada usus halus akibat luas permukaan yang lebih sempit.  Dalam keadaan normal, kolon menyerap sebagian garam (NaCl) dan H2O.  Natrium adalah zat yang paling aktif diserap, Cl- secara pasif menuruni gradient listrik, dan H2O berpindah melalui osmosis.  Melalui penyerapan keduanya maka terbentuk feses yang padat. Sekitar 500 ml bahan masuk ke kolon, 350 ml diserap dan 150 g feses dikeluarkan.  Feses ini terdiri dari 100 g H2O dan 50 g bahan padat seperti selulosa, bilirubin, bakteri, dan sejumlah kecil garam. Dengan demikian, produk sisa utama yang dieksresikan melalui feses adalah bilirubin, serta  makanan yang pada dasarnya tidak dapat diserap oleh tubuh.
C.       Fisiologi dan Anatomi Kolon
Fungsi utama kolon adalah (1) absorbsi air dan elektrolit dari kimus untuk membentuk feses yang padat dan (2) penimbunan bahan feses sampai dapat dikeluarkan. Setengah bagian proksimal kolon berhubungan dengan absorbsi dan setengah distal kolon berhubungan dengan penyimpanan. Karena sebagai 2 fungsi tersebut gerakan kolon sangat lambat. Tapi gerakannya masih seperti usus halus yang dibagi menjadi gerakan mencampur dan mendorong.
Gerakan Mencampur “Haustrasi”.
Gerakan segmentasi dengan konstriksi sirkular yang besar pada kolon, ± 2.5 cm otot sirkular akan berkontraksi, kadang menyempitkan lumen hampir tersumbat. Saat yang sama, otot longitudinal kolon (taenia koli) akan berkontraksi. Kontraksi gabungan tadi menyebabkan bagian usus yang tidak terangsang menonjol keluar (haustrasi). Setiap haustrasi mencapai intensitas puncak dalam waktu ±30 detik, kemudian menghilang 60 detik berikutnya, kadang juga lambat terutama sekum dan kolon asendens sehingga sedikit isi hasil dari dorongan ke depan. Oleh karena itu bahan feses dalam usus besar secara lambat diaduk dan dicampur sehingga bahan feses secara bertahap bersentuhan dengan permukaan mukosa usus besar, dan  cairan serta zat terlarut secara progresif diabsorbsi hingga terdapat 80-200 ml feses yang dikeluarkan tiap hari.
Gerakan Mendorong “Pergerakan Massa”.
Banyak dorongan dalam sekum dan kolon asendens dari kontraksi haustra yang lambat tapi persisten, kimus saat itu sudah dalam keadaan lumpur setengah padat. Dari sekum sampai sigmoid, pergerakan massa mengambil alih peran pendorongan untuk beberapa menit menjadi satu waktu, kebanyakan 1-3 x/hari gerakan.
Selain itu, kolon mempunyai kripta lieberkuhn tapi tidak ber-vili. menghasilkan mucus (sel epitelnya jarang mengandung enzim). Mucus mengandung ion bikarbonat yang diatur oleh rangsangan taktil , langsung dari sel epitel dan oleh refleks saraf setempat terhadap sel mucus Krista lieberkuhn. Rangsangan n. pelvikus dari medulla spinalis yang membawa persarafan parasimpatis ke separuh sampai dua pertiga bagian distal kolon. Mucus juga berperan dalam melindungi dinding kolon terhadap ekskoriasi, tapi selain itu menyediakan media yang lengket untuk saling melekatkan bahan feses. Lebih lanjut, mucus melindungi dinding usus dari aktivitas bakteri yang berlangsung dalam feses, ion bikarbonat yang disekresi ditukar dengan ion klorida sehingga menyediakan ion bikarbonat alkalis yang menetralkan asam dalam feses. Mengenai ekskresi cairan, sedikit cairan yang dikeluarkan melalui feses (100 ml/hari). Jumlah ini dapat meningkat sampai beberapa liter sehari pada pasien diare berat
D.      Absorpsi dalam Usus Besar
Sekitar 1500 ml kimus secara normal melewati katup ileosekal, sebagian besar air dan elektrolit di dalam kimus diabsorbsi di dalam kolon dan sekitar 100 ml diekskresikan bersama feses. Sebagian besar absorpsi di pertengahan kolon proksimal (kolon pengabsorpsi), sedang bagian distal sebagai tempat penyimpanan feses sampai akhirnya dikeluarkan pada waktu yang tepat (kolon  penyimpanan)
Absorbsi dan Sekresi Elektrolit dan Air.
Mukosa usus besar mirip seperti usus  halus, mempunyai kemampuan absorpsi aktif natrium yang tinggi dan klorida juga ikut terabsorpsi. Ditambah taut epitel di usus besar lebih erat dibanding usus halus sehingga mencegah difusi kembali ion tersebut, apalagi ketika aldosteron teraktivasi.  Absorbsi ion natrium dan ion klorida menciptakan gradien osmotic di sepanjang mukosa usus besar yang kemudian menyebabkan absorbsi air
Dalam waktu bersamaan usus besar juga menyekresikan ion bikarbonat (seperti penjelasan diatas) membantu menetralisir produk akhir asam dari kerja bakteri didalam usus besar
E.       Kemampuan Absorpsi Maksimal Usus Besar
Usus besar dapat mengabsorbsi maksimal 5-8 L cairan dan elektrolit tiap hari sehingga bila jumlah cairan masuk ke katup ileosekal melebihi atau melalui sekresi usus besar melebihi jumlah ini akan terjadi diare.
1.         Kerja Bakteri dalam kolon.
Banyak bakteri, khususnya basil kolon, bahkan terdapat secara normal pada kolon pengabsorpsi. Bakteri ini mampu mencerna selulosa (berguna sebagai tambahan nutrisi), vitamin (K, B₁₂, tiamin, riboflavin, dan bermacam gas yang menyebabkan flatus di dalam kolon, khususnya CO, H, CH)
2.         Komposisi feses.
Normalnya terdiri dari ³⁄ air dan ¹⁄ padatan (30% bakteri, 10-20% lemak, 10-20% anorganik, 2-3% protein, 30% serat makan yang tak tercerna dan unsur kering dari pencernaan (pigmen empedu, sel epitel terlepas). Warna coklat dari feses disebabkan oleh sterkobilin dan urobilin yang berasal dari bilirubin yang merupakan hasil kerja bakteri. Apabila empedu tidak dapat masuk usus, warna tinja menjadi putih (tinja akolik). Asam organic yang terbantuk dari karbohidrat oleh bakteri merupakan penyebab tinja menjadi asam (pH 5.0-7.0).  Bau feses disebabkan produk kerja bakteri (indol, merkaptan, skatol, hydrogen sulfide). Komposisi tinja relatif tidak terpengaruh oleh variasi dalam makanan karena sebagian besar fraksi massa feses bukan berasal dari makanan. Hal ini merupakan penyebab mengapa selama kelaparan jangka panjang tetap dikeluarkan feses dalam jumlah bermakna.

F.       Konstipasi
1.      Pengertian konstipasi
·         Konstipasi adalah suatu penurunan defekasi yang normal pada seseorang, disertai dengan kesulitan keluarnya feses yang tidak lengkap atau keluarnya feses yang sangat keras dan kering (Wilkinson, 2006).
·         Konstipasi adalah defekasi dengan frekuensi yang sedikit, tinja tidak cukup jumlahnya, berbentuk keras dan kering (Oenzil, 1995).
·         Konstipasi adalah kesulitan atau kelambatan pasase feses yang menyangkut konsistensi tinja dan frekuensi berhajat. Konstipasi dikatakan akut jika lamanya 1 sampai 4 minggu, sedangkan dikatakan kronik jika lamanya lebih dari 1 bulan (Mansjoer, 2000).


2.      Penyebab konstipasi
·         Kurang gerak.
·         Kurang minum.
·         Kurang serat.
·         Sering menunda buang air besar.
·         Kebiasaan menggunakan obat pencahar.
·         Efek samping obat-obatan tertentu (antasid dan opiat) sampai adanya gangguan seperti usus terbelit.
3.      Patofisiologi konstipasi
·         Defekasi menjadi sulit manakala frekuensi pergerakan usus berkurang, yang akhirnya akan memperpanjang masa transit tinja. Semakin lama tinja tertahan dalam usus, maka konsistensinya akan semakin keras, dan akhirnya membatu sehingga susah dikeluarkan (Arisman, 2004).
·         Rasa takut akan nyeri sewaktu berdefekasi juga dapat menjadi stimulus psikologis bagi seseorang untuk menahan buang air besar dan dapat menyebabkan konstipasi. Rangsangan simpatis atau saluran gastrointestinal menurunkan motilitas dan dapat memperlambat defekasi. Aktivitas simpatis meningkat pada individu yang mengalami stress lama. Obat-obatan tertentu misalnya antasid dan opiat juga dapat menyebabkan konstipasi (Corwin, 2000).
4.      Cara mengurangi resiko konstipasi
·         Menyarankan untuk mengkonsumsi makanan berserat tinggi setiap hari,
·         seperti sayuran dan buah-buahan.
·         Menganjurkan untuk minum paling sedikit delapan gelas cairan (air, jus, teh, kopi) setiap hari untuk melembutkan feses.
·         Menganjurkan untuk tidak menggunakan laksatif secara rutin, karena bisa menyebabkan ketergantungan (Moore, 1997).



5.      Pemeriksaan
·            Pemeriksaan dimulai pada rongga mulut meliputi gigi geligi, adanya luka pada selaput lendir mulut dan tumor yang dapat mengganggu rasa pengecap dan proses menelan.
·            Daerah perut diperiksa apakah ada pembesaran perut, peregangan atau tonjolan. Perabaan permukaan perut untuk menilai kekuatan otot perut. Perabaan lebih dalam dapat mengetahui massa tinja di usus besar, adanya tumor atau pelebaran nadi.
·            Pada pemeriksaan ketuk dicari pengumpulan gas berlebih, pembesaran organ, cairan dalam rongga perut atau adanya massa tinja. Pemeriksaan dengan stetoskop digunakan untuk mendengarkan suara gerakan usus besar serta mengetahui adanya sumbatan usus.
·            Pemeriksaan dubur untuk mengetahui adanya wasir, hernia, fissure (retakan) atau fistula (hubungan abnormal pada saluran cerna), juga kemungkinan tumor di dubur yang bisa mengganggu proses buang air besar. Colok dubur memberi informasi tentang tegangan otot, dubur, adanya timbunan tinja, atau adanya darah.
·            Pemeriksaan laboratorium dikaitkan dengan upaya mendeteksi faktor resiko konstipasi seperti gula darah, kadar hormon tiroid, elektrolit, anemia akibat keluarnya darah dari dubur. Anoskopi dianjurkan untuk menemukan hubungan abnormal pada saluran cerna, tukak, wasir, dan tumor.
·            Foto polos perut harus dikerjakan pada penderita konstipasi untuk mendeteksi adanya pemadatan tinja atau tinja keras yang menyumbat bahkan melubangi usus. Jika ada penurunan berat badan, anemia, keluarnya darah dari dubur atau riwayat keluarga dengan kanker usus besar perlu dilakukan koloskopi (Nri, 2004).

6.      Terapi
·         Terapi diberikan sesuai penyebabnya dan pada lansia pengobatannya harus hati-hati. Untuk pengobatan biasanya dimulai fase 1 yaitu perubahan kebiasaan hidup meliputi latihan buang air besar secara teratur, dikombinasi olahraga, dan diet banyak cairan minimum 1500 cc/hari air/jus buah, makanan berserat sehari 20-30 gram.
·         Jika belum membaik, maka terapi memasuki fase 2, yaitu penggunaan obat-obatan laksatif atau supositoria dan enema serta terapi lainnya.
·         Jika fase 2 tidak efektif, maka perlu pemeriksaan radiologis, bahkan pada konstipasi tertentu perlu dilakukan tindakan operasi (Arief, 2008).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar